HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN
FILSAFAT YUNANI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Proses sejarah masa lalu tidak
dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruhi oleh
filsafat Yunani. Para filosof Islam banyak mengambil Pemikiran Aristoteles dan
mereka banyak tertarik terhadap pikiran-pikiran Platinus. Sehingga banyak
teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Islam.
Kedatangan para filosof Islam
telah banyak terpengaruhi oleh orang-orang sebelumnya dan berguru kepada
filosof Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-21 ini, banyak hal
berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru bukan
berarti mengekor atau mengutip, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa filsafat
Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, karena filsafat Islam
telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pemikiran.
Seorang filosof berhak
mengambil sebagian pandangan orang lain, tetapi hal itu tidak menghalanginya
untuk membawa teori-teori dan filsafatnya sendiri. Ibnu Sina misalnya, walaupun
sebagai murid yang murni dari Aristoteles tetapi ia mempunyai pandangan
tersendiri yang tidak dikatakan oleh gurunya.
Filosof-filosof Islam secara
umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof-filosof
lain, sehingga salah jika kita mengabaikan berbagai pengaruh kondisi ini dalam
pemikiran dan teori-teori mereka. Jadi, dunia Islam mampu menyusun suatu
filsafat untuk dirinya sendiri yang berjalan seiring dengan nilai pokok
agama dan kondisi sosialnya, dan tidak ada sesuatu apapun yang dapat
menolong untuk mengenal dan mengetahui hakikat filsafat ini, kecuali harus
mempelajari dan
menjelaskannya.
Oleh karenanya, dalam hal ini kami mencoba
untuk mengkaji bagaimana hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani,
tentunya dilihat dari aspek sejarah hubungan antara filsafat Islam dengan
filsafat Yunani tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa 0bjek kajian Filsafat Islam ?
b.
Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani.
1.3Tujuan
a.
Memberikan
gambaran tentang bagaimana hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani
b.
Dengan
mengetahui pentingnya hal-hal tersebut semoga para mahasiswa calon tenaga
pendidikan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan mendatang.
c.
Tak
dipungkiri, pembuatan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat dan Filsafat Islam
1.
Pengertian Filsafat
Istilah
filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
1) Segi
semantik: Perkataan filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari
bahasa Yunani, Philosophia, yang berarti Philos: cinta, suka (loving), dan
Sophia: pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi Philosophia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang
berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut
Philosopher. Dalam bahasa Arabnya Failasuf. Pecinta pengetahuan ialah orang
yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau dengan perkataan
lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2) Segi
praktis: dillihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam fikiran
atau alam berpikir. Berfilsafat berarti berpikir. Namun tidak semua berpikir
berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa: setiap manusia adalah
filosof. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi
secara umum semboyan ini tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir
adalah filosof.
Filosof hanyalah orang yang memikirkan
hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya, filsafat
adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Karena luasnya ruang lingkup pembahasan
ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak diantara para ahli filsafat
memberikan definisinya secara beda-beda. Berikut definisi-definisi ilmu
filsafat dari filosof barat dan timur:
a. Plato
(427 SM-347 SM) seorang filosof Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru
Aristoteles mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang
ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
b. Aristoteles
(382 SM-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas
segala benda).
c. Marcus
Tulius Cicero (106 SM-43 SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan
filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha
untuk mencapainya.
d. Al-Farabi
( Wafat 950 M), Filosof Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan bahwa
filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki
hakikat yang sebenarnya.
e. Immanuel
Kant (1724-1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan bahwa
filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencangkup di
dalamnya persoalan.
f.
Prof. Dr. Fuad Hasan, Guru Besar Psikologi UI,
menyimpulkan: filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal, artinya
mulai dari radiknya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak
dimasalahkan, dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha
untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
Dari berbagai definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat Islam adalah ilmu yang menyelidiki secara mendalam tentang hakikat
sesuatu, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan sejauh yang dapat dicapai oleh
akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.
2.
Pengertian Filsafat Islam
Perjalanan waktu yang panjang mengantarkan kepada konvensi
antar ilmuwan bahwa filsafat Islam memiliki pengertian sendiri karena ia
memiliki sumber utama, yakni Al-Qur’an. Atas kenyataan ini, beragam definisipun
mengalir dari berbagai tokoh tentang pengertian filsafat Islam. Disamping
penyebutan istilah, filsafat Islam atau filsafat Arab.
Sebelum sampai kepada definisi filsafat Islam, terlebih
dahulu penulis mencoba untuk menguraikan beberapa makna atau istilah-istilah
filsafat yang berkembang di kalangan cendikiawan Muslim. Banyak dikalangan para
ahli berbeda dalam menamakan filsafat Islam. Apakah itu Filsafat Islam
atau Filsafat Arab, atau ada nama lain dari kedua istilah tersebut.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama
saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut
adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau
yang dimaksud dengan filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil
orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa
Islam telah mempersatukan berbagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam
memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut.
Menurut Mustafa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di
kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Fuad
Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengarang-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah
di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat failusuf
atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah
itu berada di atas kata filsafat.
Al Farabi berkata: failasuf adalah orang yang menjadikan
seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari
hikmah yaitu mema’rifati Allah yang mengandung pengertian mema’rifati kebaikan.
Ibnu Sina mengatakan hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan
dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang
bersifat teori maupun praktik menurut kemampuan manusia. Kemudian ahli tafsir
Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang berhubungan dengan
rahasia-rahasia, yang kokoh atau rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan amal
pekerjaan.
Demikian pula Nurcholis Madjid menyatakan bahwa hikmah itu
berarti ilmu pengetahuan, filsafat, kebenaran, bahkan merupakan rahasia Tuhan
yang tersembunyi yang hanya biasa diambil manfaat dan pelajaran pada masa dan
waktu yang lain.
Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat
adalah yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis
(etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni
pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Sampailah pada pengertian filsafat Islam yang merupakan
gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustafa Abdur Razik, Filsafat Islam
adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan Negara Islam,
tanpa memandang agama dan bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh
Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis
kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya
dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Filsafat Islam adalah filsafat yang diterapkan pada hukum
Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan objeknya tertentu, yaitu hukum Islam.
Oleh karena itu, filsafat Islam adalah sifat yang menganalisis hukum Islam
secara metodis dan sistematis sehingga didapatkan keterangan yang mendasar, atau
menganalisis hukum Islam secara Islam dan sebagai alatnya.
Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam
membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Menyimak dari berbagai definisi
diatas, tampaknya makna filsafat pada filsafat Islam identik dengan makna
al-hikmah yang dikenal dalam Islam. Hal itu tidak bisa dihindari karena
perbedaan istilah, tatapi maknanya tetap sama.
B. Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat
Yunani
1.
Penaklukan Alexander dan
Perkembangan Pemikiran Yunani di Timur Tengah
Perkembangan pemikiran Yunani di kawasan Timur Tengah tidak
dapat dilepaskan dari penaklukkan yang dilakukan Alexander yang Agung terhadap
kawasan tersebut. Ia dapat menguasai Arbela, sebelah Timur Tigris pada tahun
331 yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Darius. Kedatangannya ke
daerah tersebut tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi
sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Dari segi
kultural, ia sendiri berusaha mengenakan pakaian secara Persia, dan orang-orang
Persia sendiri banyak pula yang diangkat menjadi pengawal-pengawalnya. Ia kawin
dengan Statira, anak Darius.
Setelah Alexander meninggal, perkembangan selanjutnya terdiri
dari Kerajaan Ptolemeus di mesir, dengan Alexandria sebagai ibukotanya dan
kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota pentingnya seperti
Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persia sebelah Timur.
Ptolemus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan
kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun usaha itu tidak berhasil, namun
kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas di daerah-daerah ini. Bahasa
administrasi yang dipakai disana ialah bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa
ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam kedua daerah itu, dan baru
ditukar dengan bahasa Arab pada abad VII Masehi oleh Khalifah Bani Umayyah A.
Malik Ibn Marwan (685-705). Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi
pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada Abad III Masehi pusat-pusat
kebudayaan Yunani ini ditambah dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh
dari Baghdad (didirikan di tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke
dalam wilayah kekuasan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.
Alexandria merupakan kota yang berfungsi sebagai salah satu
pusat kegiatan intelektual yang penting dijaman akhir filsafat Yunani Kuno.
Menurut keterangan yang diberikan oleh De Lacy O’leary, bahwa di kota ini
terdapat bangunan musium yang dilengkapi dengan perpustakaan yang kemudian ia
berkembang di zaman Philadelphia (285-247 SM) menjadi perpustakaan terbesar di
dunia dalam bidang pemikiran Yunani.
Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa
penaklukkan Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah ternyata membawa
pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang ditaklukkannya
itu. Perkembangan pemikiran Yunani tersebut terlihat dari munculnya
berbagai pusat atau lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua kota yang menjadi
tempat perkembangan pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai oleh Islam.
2.
Peranan Khalifah Abbasiyah
dalam Masuknya Pemikiran Yunani ke Dunia Islam
Ketika Khalifah Bani Abbas Al Mansur sakit di tahun 765 M,
dinasehati oleh menterinya Khalid Ibn Barmak (Seorang Persia), kepala rumah
sakit Jundishapur agar memanggil Girgis Ibn Bukhtyishu untuk mengobatinya.
Khalid Ibn Barmak sendiri adalah berasal dari Bactra, dan dikenal sebagai
keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat, dan condong pada
paham Mu’tazilah.
Selanjutnya Harun Al Rasyid menjadi Khalifah Abbasiyah pada
tahun 786 M. Sebelumnya ia pernah belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn
Khalid Ibn Barmak. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi oleh kegemaran
keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Pada zaman
pemerintahan Harun Al Rasyid inilah penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan
Yunani ke dalam bahasa Arab mulai dilakukan.
Peranan penerjemahan dalam memasukkan pemikiran Yunani ke
dalam Islam itu telah banyak disebut oleh para ahli sejarah. De Lacy O’eary
misalnya, mengatakan bahwa orang-orang Islam menguasai filsafat Yunani adalah
melalui kegiatan penerjemahan dan pensyarahan bahasa Yunani, dan kegiatan ini
banyak mendapat bantuan dari orang-orang Suryani. Sumber lain menyebutkan bahwa
sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui
dorongan dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari
Siria. Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu
pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat
dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang
besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter
Yahudi dan Kristen.
Melalui kegiatan penerjemahan itu para cendikiawan Muslim
dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan filsafat, dan mereka
berusaha menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan
sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam
lapangan filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian
Barat yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin, dimana mereka
menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin, penerjemah, atau
paling tidak sebagai penyarah dan komentator.
Anggapan ini dibantah oleh George Sarton yang pendapatnya
dikutip oleh Dr. Effat al-Sharqawi. Beliau mengatakan bahwa pendapat demikian
adalah keliru. Tidak ada kretifitas yang lebih besar dari kehausan yang
mendominasi perasaan tokoh-tokoh pemikir Muslim akan ilmu pengetahun. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa kaum muslimin setelah mengenal Khazanah Yunani
segera berusaha mengkaji, memberi komentar dan menjelaskannya. Mereka mengemukakan
analis kritik dan polesan Islami terhadap pemikiran Yunani itu.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa keadaan perkembangan
filsafat Yunani, ketika dijumpai oleh kaum Muslimin tengah dalam keadaan mundur
, bahkan hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh para penguasa saat
itu. Khazanah ilmu pengetahuan Yunani menemukan penyelamatannya yang mampu
membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lama dan mengungkapkan
subtansi-subtansinya dengan uraian yang orisinil pada orang Islam, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Selain itu, kaum Muslimin juga berusaha
mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil, seimbang dan
rasional. Lebih jauh lagi seringkali sumbangan sumbangan kaum Muslimin itu
lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan yang diberikan
oleh kaum Iskandariah dan lainnya dari filosof Hellennistik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa khalifah
Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah ilmu filsafat ke
dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim terkemuka
dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof Muslim inilah
yang dikenal dengan Filsafat Islam.
C. Hubungan
Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu Filsafat Islam
dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke
dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam. Usaha ini
melahirkan sejumlah filosof besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat
di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filosof muslim daripada dunia Islam
belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan diatas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf
menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak
diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa Daulah Abbasiyah pertama
(132-232 H / 750-847 M). Ilmu ini ditransfer ke dunia Islam melalui
penerjemahan dari buku-buku Filsafat Yunani yang telah tersebar di
daerah-daerah Laut Putih seperti Iskandariah, Anthakian, dan Harran. Terlebih
pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berpikir,
yang berkuasa antara 198-218 H / 813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan
dengan raja-raja Romawi, Bezantium yang beribu kota di Konstantinopel, yang
juga dikenal dengan sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat. Dari kota
ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa
Suryani. Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan
seperlunya. Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukkan Filsafat Yunani
sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk
melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.
Tentu saja, aktifitas para filosof di atas bersentuhan
dengan penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara
filosofis besar sekali. Al-Kindi Misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Filosof
Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami Al-Qur’an dengan benar,
isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi
berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk
merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam
di balik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyusutnya bulan,
pasang-surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk
berfilsafat. Seperti halnya Al Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih
jauh, Ibn Rusyd menyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh
pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini filsafat sesuai dengan
agama, sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar
bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.
Itulah sebabnya, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa sumber
dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun mempunyai dasar yang kokoh dalam
sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari
luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.
Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat
Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia
Yunani, seperti yang telah disebutkan oleh Nurcholis Madjid, yang menyatakan
bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan
kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa
orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang
telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan itu berarti masuknya
unsur-unsur Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian orang Islam begitu
sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya,
namun mereka tidak sadar atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur
Neoplatonis di dalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur
Hellenisme yang paling berpengaruh terhadap falsafah Islam itu karena memang
terkait satu sama lainnya.
Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya
pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak
muncul dengan jelas dalam berbagai paham tasawuf. Ibnu Sina misalnya, dapat
dikatakan sebagai seorang Neo-platonis disebabkan ajarannya tentang mistik
perjalanan rohani manuju Tuhan seperti yang dumuat dalam kitabnya, Isharat.
Memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke
dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling banyak menonjol adalah yang ada dalam
ajaran sekelompok orang muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.
Demikian pula kita sepenuhnya dapat berbicara tentang
pengaruh besar Aristoteles, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak
memanfaatkan metode berfikir logis menurut logika formal (silogisme)
Aristoteles ini, yaitu yang lebih dikenal dengan ilmu mantiq dikalangan umat
Islam.
Akan tetapi mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon
copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir
Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu
mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan
Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuwwat. Mereka
juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal
yang tidak terdapat padanya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada
kaum Hellenis Kristen. Para Filosof Muslim juga membahas masalah baik dan
buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan
keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya yang
semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali
terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat
akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penelusuran berfikir
yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, dapat
dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara Azali telah ada, maka filsafat
Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam
Al-Qur’an sebagai desain besar Allah Swt. Akan tetapi, persoalan yang muncul
adalah Orisinilitas filsafat Islam, apakah ia mengekor atau pelopor.
Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran
kefilsafatan Islam klasik tidak perlu mengherankan. Sebab para filosof klasik
Islam, betapapun pengembaraan intelektualnya adalah orang-orang yang relegius.
Mungkin tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima
oleh para ulama ortodoks, namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada
masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern, yang umumnya justru menolak atau
meragukan agama. Para filosof muslim klasik ini berfilsafat tetap karena
dorongan keagamaan, malahan seringkali justru untuk membela dan melindungi
keimanan agama. Karena relegiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan
terjadi hanya dalam batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama
itu sendiri bagi mereka telah cukup rasional sebagaimana dituntut oleh
filsafat.
Pernyataan-pernyataan di atas dikuatkan pula oleh Abdul
Mun’im bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan
filsafat, berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian orang Arablah yang
memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke
penjuru dunia. Lebih terbuka lagi, dinyatakan oleh O’Leray, “Sekarang, kita
mengikuti jalannya filsafat Hellenis. Dari Yunani ia mengalir ke dalam
pengetahuan Syria Lama. Kemudian, ia berjalan dari orang-orang Syria ke dalam
dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab. Orang-orang Arab kemudian
memasukkannya kembali, jauh ke tengah-tengah dunia Barat”.
Sampai disini, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat
Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus
pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan ke berbagai dunia
Barat.
D. Orisinilitas dan Otentisitas
Filsafat Islam
Sejarawan Islam abad
pertengahan, Ibnu Khladun (w.708 H/1406 m), mengakui adanya unsur Yunani dalam
filsfat Islam. Ia menganalisa filsafat di dunia Arab dengan pendekatan
sosiologis. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab
sebenarnya tidak memiliki kemampuan berfilsafat karena keseharian mereka
disibukkan dengan urusan pengaturan dan pembelaan negara. Filsafat masuk ke
dalam Islam di Barat (Andalusia), Abu Said al-Andalusi dalam kitabnya Thabaqatul
umam, ia mangatakan masyarakat Arab adalah masyarakat sederhana yang tidak
mampu berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari Barat cenderung rasis
dalam menganalisa permasalahan. Said menyimpulkan bahwa dalam tradisi Arab
hanya dikenal dua orang filosof, yaitu Al-Kindi dan al-hamdani, sementara
filosof lainnya berasal dari Barat. Pandangan rasis said inilah yang tampaknya
di kemudian hari mempengaruhi tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia
berdsarkan ras.
Dalam ranah pemikiran
kontemporer, hampir semua ajaran Islam yang menekuni bidang filsafat juga
mengakui bahwa filsafat Islam menerima banyak pengaruh dari peradaban luar,
tidak saja dari Yunani. Mustafa Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa
keterpengaruhan adalah sebuah bentuk aksioma dari sejarah peradaban manapun. Tidak ada yang perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban
tidak luput dari pengaruh dan pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga
didalamnya peradaban Yunani. Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada
bentuk metode orisinil (manhaj ashil) milik peradaban tersebut.
Mustafa Abdul Raziq membuat pendekatan baru dalam meneliti orisinilitas filasfat
dalam peradaban Islam. Untuk menghasilkan konklusi yang lebih berkesesuaian
dengan realitas, ia mengajak para pengkaji filsafat Islam untuk terlebih dahulu
meneliti sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran
filosofis (al nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya dimulai dalam
sejarah tasyri’ tersebut. Jika ditelusuri sejarah ini, maka geneologi
filsafat dalam Islam sesungguhnya sudah dumulai sejak munculnya ijtihad fiqih.
Ijtihad merupakan usaha untuk memfungsikan peran akal dalam bimbingan wahyu
adalah terma yang paling mewakili untuk menampilkan metode Islam yang orisinil
dalam filsafat dan tidak terkontaminasi peradaban lain.
Pemikiran filosofis didunia
Arab diakui oleh Mustafa sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam. Akan tetapi
sejak kemunculan Islam pemikiran tersebut lebih terarahkan karena mendapatkan
banyak dukungan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur’an banyak
ditemukan ayat-ayat yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal fikiran
dan perintah agar merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal fikiran.
Al-qur’an dan Sunnah juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan untuk
mencerna dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah itu
sendiri. Mustafa Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ushul
fiqih dan Ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang
merupakan bentuk modifikasi dari nash-nash al-Qur’an daaaaan as-Sunnah yang
dipahami secara filosofis oleh umat Islam, sehingga menjadi bagian ilmu
filsafat dalam Islam.
Ibrahim Madkour juga memulai
kajian di bidang filsafat Islam dengan terlebih dahulu membuat pengakuan bahwa
filsafat adalah fenomena generik (al-zhahirah al-insaniyyah) di mana
keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah peradaban.
Setelah itu Ibrahim Madkour juga mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat asing
melakukan inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu membuat
ciri yang khas dan independen.
Secara umum ada tiga metode
yang digunakan oleh Ibrahim Madkour dalam mengkaji otentisitas dan otoritas
filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutaba’atu sair)
yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa
teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan
komparasi (muqaranah) antara pemikiran Islam dengan pemikiran lainnya,
baik sebelum ataupun sesudah Islam. Ketiga,
dengan membuat teori ketersambungan filsafat, dimana Islam adalah salah satu
mata rantai dari sejarah panjang filsafat.
Ibrahim Makour
mengaplikasikan tiga metode ini dengan mengangkat lima nazhariyah
(teori) yang pernah muncul di filsafat Islam. Teori pertama, adalah tentang
kebahagiaan. Teori kedua, tentang kenabian. Teori ketiga tentang nafs. Teori
keempat, tentang ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan berkehendak.
Penelitian Ibarahim Madkour
terhadap lima teori ini mengahasilkan kesimpulan bahwa filsafat Islam adalah
filsafat yang ekletis (al-tawfiq) dan sinkretis (al-ikhtiar).
Filsafat Islam bisa melakuka harmonisasi antara akal (aql) dan
periwayatan (naql), dan juga antara filsafat dengan agama. Filsafat
Islam memiliki karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan
ruh islami. Filsafat Islam juga mampu memadukan antara karya filosof Barat
(Yunani) dengan Filsafat Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan
perhitungan. filsafat Islam juga mampu memadukan antara Aristoteles dan plato.
Filsafat Islam menurut
Ibrahim Madkour adalah filsafat yang progresif dan mampu melampaui para periode
sebelumnya. Sebagai sebuah bagian dari mata rantai filsafat, Islam mampu
memanfaatkan warisan (legacy) peradaban-peradaban kuno, Islam mampu
membentangkan jalan bagi lahirnya peradaban-peradaban yang datang sesudahnya.
Islam lah yang membangkitkan filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad)
mereka masing-masing.
Dalam karyanya The
Rocontruction of Religion Thought in Islam Muhamamad iqbal juga
berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi pemikiran
filsfat abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger Baicon adalah
contoh filosof Barat yang terpengaruh dengan Manhaj Tajribiy (metode
impiris) yang dikembangkan di dunia Islam.
Masalah orisinilitas
filsafat Islam juga dikaji oleh tokoh Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya
adalah dipergunakan untuk membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah
berhutang dengan peradaban Yunani. Ia mengarang trilogi Nasyatul Fikril
Falsafi fil Islam yang berisikan pandangan-pandangan barunya mengenai wujud
filsafat Islam. Menurut Ali Sami an-Nasyar, filosof Islam adalah mereka yang
menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan
dari karya bangsa Yunani. Walhasil filosof Islam dalam perspektif Ali adalah Fuqaha,
mutashawwifun, dan Mutakallimun.
Jika megacu kepada
al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan
mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an
telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang
sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak
benar juga jika Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan
seperangkat sistem berfikir yang filosofis, sebab Islam adalah agama yang
menghormati akal. Sebegaimana disebutkan dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, yang
artinya:
“Dan
dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Dari beberapa uraian dan
pendapat para pakar filsafat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Islam mempunyai orisinilitas
dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul
dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani
dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu
berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.
KESIMPULAN
Dari berbagai uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat
Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam membahas
hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat Islam adalah filsafat yang
diterapkan berdasarkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan
objeknya tertentu, yaitu hukum Islam.
Adapun hubungan filsafat
Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang, penerus sekaligus
pelopor filsafat yang bercorak Islam. Filsafat Islam itu lahir karena
dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat Yunani
ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam, yakni pada
masa Khalifah Abbasiyah.
Filsafat
Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan
filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang
terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak
menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber
dari al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam
dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan
konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang
Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang
pernah difikirkan oleh bangsa Yunani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar